BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang
berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan
perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan
organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang
memimpin keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga
terdiri dari Ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki
hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian
dalam hubungan timbal balik antar semua anggota/individu dalam keluarga. Sebuah
keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang
ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan
terhadap keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga.
Keluarga disebut disharmonis apabila terjadi sebaliknya.
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun
orang tua dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah
tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam
rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah
mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan
hal tersebut.
Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya
masing-masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap
anggota keluarga akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan
mengerti perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga
sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam keluarga. Penyelesaian konflik secara
sehat terjadi bila masing-masing anggota keluarga tidak mengedepankan
kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang
sama-sama menguntungkan anggota keluarga melalui komunikasi yang baik dan
lancar. Disisi lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka
konflik akan semakin sering terjadi dalam keluarga.
Penyelesaian
masalah dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik
sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian maupun ekspresi wajah
menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti menyerang, memaksa, mengancam
atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada
tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diartikan setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
B.
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari makalah di atas adalah
1.
Apa yang dimaksud
dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
2.
Apa saja
bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
3.
Apakah faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam
Rumah Tangga ?
4.
Bagaimana cara
penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
5.
Apakah perlindungan
bagi korban KDRT?
6.
Apakah pengertian
KDRT menurut UU?
C.
TUJUAN
Tujuan dari rumusan masalah
di atas yaitu
1.
Menjelaskan yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
2.
Menjelaskan apa
saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.
3.
Menjelaskan faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
4.
Menjelaskan cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
5.
Menjekaskan perlindungan bagi korban KDRT.
6.
Menjelaskan pengertian KDRT menurut UU.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam
Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
Masalah
kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam
Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
a.
Bahwa setiap warga
negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala bentuk
kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia
tahun 1945.
b.
Bahwa segala bentuk
kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak
asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
deskriminasi yang harus dihapus.
c.
Bahwa korban
kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu harus
mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan
terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
d.
Bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Tindak
kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur yang
berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang
hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
“Barang siapa yang
melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri
atau anak diancam
hukuman pidana”
B.
Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4
(empat) macam :
a.
Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang
termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi,
menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai
dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti
bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
b.
Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional
adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk
penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang
menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar,
mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
c.
Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi
pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan
hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan
pihak istri.
Kekerasan seksual berat, berupa:
1.
Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba,
menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain
yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
2.
Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau
pada saat korban tidak menghendaki.
3.
Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,
merendahkan dan atau menyakitkan.
4.
Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
pelacuran dan atau tujuan tertentu.
5.
Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan
posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
6.
Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa
bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
Kekerasan Seksual Ringan, berupa
pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan,
ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan
tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak
dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. Melakukan
repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan
seksual berat.
d.
Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah
tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi,
manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
·
Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk
pelacuran.
·
Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
·
Mengambi l tanpa
sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi
harta benda korban.
Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya
sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau
tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
C.
Faktor-faktor
penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal
dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
a.
Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas
sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
b.
Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan
bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap
suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan
kekerasan.
c.
Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya
menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak
diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi
kekerasan dalam rumah tangga.
d.
Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi
laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur
dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya
hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan
terhadap anaknya agar menjadi tertib.
e.
Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam
rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai
pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau
ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya
legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam
konteks harmoni keluarga.
D.
Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga,
diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
a.
Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang
baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga
tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
b.
Harus
tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam
agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan
orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap
pendapat yang ada.
c.
Harus adanya komunikasi yang baik antara suami
dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika
di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara
kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah
tangga.
d.
Butuh rasa saling
percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota keluarga.
Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa
saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada
rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan
rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
e.
Seorang istri harus mampu mengkoordinir
berapapun keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat
mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi
dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
E.
Perlindungan bagi Korban
KDRT.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos
dan persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan
rumah tangga. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maka persoalan KDRT ini
menjadi domain publik. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan dan
pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau
orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban
KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan,
perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah
ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut
dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan
oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban
serta menindak pelakunya.
UU PKDRT secara
substanstif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan agar mudah
diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya,baik
perlindungan sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.
perlindungan sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.
Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu
diperlukan karena luasnya ruang dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan
lembaga resmi yang menangani perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak
lainnya itu adalah setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui
terjadinya tindak KDRT. Mereka diwajibkan mengupayakan pencegahan,
perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan permohonan penetapan
perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang
ada.Dilihat dari stelsel hukum pidana, tindak KDRT ini adalah tindak kekerasan
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni tindak
pidana penganiayaan, kesusilaan, serta penelantaran orang yang
perlu diberi nafkah dan kehidupan. Lalu mengapa masih diperlukan UU PKDRT?
perlu diberi nafkah dan kehidupan. Lalu mengapa masih diperlukan UU PKDRT?
Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini
mempunyai sifat khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah
tangga, korban dan pelakunya terikat hubungan kekerasan atau hubungan hukum
tertentu lainnya, serta berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan)
dengan penyebab (causa) yang lebih kompleks dari tindak kekerasan pada umumnya.
Itu sebabnya, tindak kekerasan ini lebih merupakan persoalan sosial yang tidak
hanya dilihat
dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif, melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan lembaga.
dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif, melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan lembaga.
Bagaimanakah bentuk dan cara perlindungan itu, serta
bagaimanakah hubungan masing-masing institusi dan lembaga pemberi perlindungan
itu secara konkret dan faktual di lapangan? Itulah pokok persoalan yang perlu
dibahas lebih lanjut.
Yang lebih penting lagi adalah bagaimana persoalan itu
dipahami oleh masyarakat luas sehingga cita-cita yang hendak dicapai oleh
legislator yang terkandung dalam UU PKDRT dapat terwujud sesuai harapan.
Bentuk perlindungan Korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi
perlindungan itu sendiri belum tentu memahami bagaimana perlindungan
itu didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status soseknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan fungsinya selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.
itu didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status soseknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan fungsinya selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.
UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan
dengan fungsi pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat
memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian
sanksi
kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.
kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.
Selain itu, UU
PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang bersifat
sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan.
Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas
dan fungsinya masing-masing:
a.
Perlindungan oleh
kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7 (tujuh)
hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian
wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan
tenaga kesehatan, sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk
mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang
pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama
program pelayanan yang mudah diakses oleh korban.Pemerintah dan masyarakat
perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk menampung, melayani dan
mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai
tugas dan kewenangannya dapat melakukan penyelidikan, penangkapan dan penahanan
dengan bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah penahanan
terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan dan
penahanan tanpa surat perintah terhadap pelanggaran perintah perlindungan,
artinya surat penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1 X 24 jam.
b.
Perlindungan oleh
advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi
di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan
mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam
sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum,
relawan pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan kemitraan).
c.
Perlindungan dengan
penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang
diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat
melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama
30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas
pernyataan yang ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah
perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan perlindungan
tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban.
d.
Pelayanan tenaga
kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap
pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan
tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan
penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai
kekuatan hukum sebagai alat bukti.
e.
Pelayanan pekerja
sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberi rasa aman
bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan
perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga
terkait.
f.
Pelayanan relawan
pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan
seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban memaparkan secara
objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara psikologis
dan fisik kepada korban.
g.
Pelayanan oleh
pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban
dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.
Bentuk perlindungan
dan pelayanan ini masih besifat normatif, belum implementatif dan teknis
oparasional yang mudah dipahami, mampu dijalankan dan diakses oleh korban KDRT.
Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali pola dan strategi pelaksanaan
perlindungan dan pelayanan dan mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan.
Tanpa upaya sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat
sulit dan mustahil dapat mencegah apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi
Indonesia ini, karena berbagai faktor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini
amatlah subur.
Bahwa anggapan
orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab konvensional seperti
disharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang rendah, perangai dan tabiat
pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan ternyata tidaklah
sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh mereka yang
kondisi sosial ekonominya baik, sukses karier dan pekerjaannya, bahkan
berpendidikan tinggi.
KDRT merupakan
multi persoalan, termasuk persoalan sosial, ekonomi, budaya, hukum, agama dan
hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di muka bumi Indonesia adalah
perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan yang rentan menjadi
korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat mempengaruhi struktur
dan karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan
dapat memberi rasa aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi keluarga dan
bangsa Indonesia.
F.
Pengertian KDRT
menurut UU.
KDRT
sudah diatur dalam Undang-undang, dan sebaiknya masyarakat mengetahui apa dan
bagaimana Undang-undang ini.
1.
KDRT SEBELUM ADANYA
UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KDRT.
Berbagai pendapat, persepsi, dan
definisi mengenai KDRT berkembang dalam masyarakat. Pada umumnya orang
berpendapat bahwa KDRT adalah urusan intern keluarga dan rumah tangga. Anggapan
ini telah membudaya bertahun, berabad bahkan bermilenium lamanya, di kalangan
masyarakat termasuk aparat penegak hukum. Jika seseorang (perempuan atau anak)
disenggol di jalanan umum dan ia minta tolong, maka masyarakat termasuk aparat
polisi akan segera menolong dia. Namun jika seseorang (perempuan dan anak)
dipukuli sampai babak belur di dalam rumahnya, walau pun ia sudah berteriak
minta tolong, orang segan menolong karena tidak mau mencampuri urusan rumah tangga
orang lain.
Berbagai kasus akibat fatal dari
kekerasan orangtua terhadap anaknya, suami terhadap istrinya, majikan terhadap
pembantu rumahtangga, terkuak dalam surat kabar dan media masa. Masyarakat
membantu dan aparat polisi bertindak setelah akibat kekerasan sudah fatal,
korbannya sudah meninggal, atau pun cacat. Telah menjadi satu trend dewasa ini,
bahwa masyarakat termasuk aparat penegak hukum berpendapat bahwa diperlukan
undang-undang sebagai dasar hukum untuk dapat mengambil tindakan terhadap suatu
kejahatan, demikian pula untuk menangani KDRT. Syukurlah Undang-undangnya telah
ada yaitu UU No.23 Tahun 2004 tentang PENGHAPUSAN KDRT (UU P KDRT).
2.
PENGERTIAN KDRT
MENURUT UNDANG-UNDANG
Menurut UU P KDRT:KDRT adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasukancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 Butir 1).
Catatan:
Untuk anak telah diatur dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang PERLINDUNGAN ANAK. Pasal
2 menjabarkan selanjutnya:
(1) Lingkup rumahtangga dalam Undang-undang ini meliputi:
i.
suami, istri, dan
anak
ii.
orang-orang yang
mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a
karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga; dan/atau
iii.
orang yang bekerja
membantu rumah tanggadan menetap dalam rumah tangga tersebut
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam huruf c
dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah
tangga yang bersangkutan.
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas
kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum,
penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan
interaksi antara berbagai perilaku manusia mewakili kepentingan-kepentingan
yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena
itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan
hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses penegakan hukum
mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam
penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman
tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan
selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto ,
dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan
perundang-udangan. Kedua, faktor, aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak
yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan
dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial
dimana hkum tersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan
kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor
kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia
di dalam pergaulan hidup.
Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa
keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen
system hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen,
yakni ; komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi
hukum(legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture) serta dalam
perkembangannya kemudian ditambahkan dengan komponen struktur hukum (Legal
Structure).
Perumusan norma atau kaidah di dalam undang-undang ini, dituangkan di dalam Pasal-pasal 5 s/d 9. Di dalam Pasal 5 dinyatakan, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara: a. kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.
Perumusan norma atau kaidah di dalam undang-undang ini, dituangkan di dalam Pasal-pasal 5 s/d 9. Di dalam Pasal 5 dinyatakan, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara: a. kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.
Di dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa, kekerasan fisik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perubahan yang mengakibatkan
rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Selanjutnya Pasal 7 memuat pernyataan
bahwa, kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan /atau penderitaan psikis
berat pada seseorang.
Sementara itu, dalam Pasal 8 dinyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertantu.
Kemudian di dalam Pasal 9 dinyatakan, (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut; (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Sementara itu, dalam Pasal 8 dinyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertantu.
Kemudian di dalam Pasal 9 dinyatakan, (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut; (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Di dalam Undang-undang ini juga dinyatakan bahwa, tindak
pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan
delik aduan (Pasal 51). Demikian juga, tindak pidana kekerasan psikis
sebagaimanadimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan (Pasal 52).
Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakandelik
aduan (Pasal 53).
Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa mengenalkan hukum ke
dalam arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah
Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah
Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial
tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh
masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini membuat
pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak
asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara hati-hati.
Arena sosial itu sendiri memiliki hakekat adanya kapasitas
untuk menciptakan aturan-aturan sendiri beserta sanksinya. Dalam hal ini aturan
aturan tersebut tidak hanya bersumber dari adat, agama dan kebiasaan kebiasaan
lain, tetapi juga mendapatkan pengaruh dari perkembangan dunia global saat ini.
Berbagai Self Regulation dalam arena-arena sosial tersebut sangatlah rumit,
karena terjadinya saling pengaruh dan adopsi di antara berbagai aturan tersebut
satu sama lain.
Suatu aturan tidak pernah tidak setelah ditetapkan karena
aturan tersebut akan terus dimodifikasi oleh masyarakat. Itu sebabnya arena
sosial tersebut disebut sebagai Semi- Autonomous Social Field (Moore, 1983). Moore
juga mengatakan bahwa di antara aturan-aturan hukum yang saling bertumpang
tindih di dalam arena sosial tersebut, ada satu hukum yang sangat besar
pengaruhnya yaitu hukum negara. Namun, ini bukan berarti bahwa hukum negara
menjadi satu-satunya hukum yang paling ditaati.
Dalam Socio-Legal Perspectives, sangat disadari bahwa
aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat, sangat terkait erat dengan
budayanya. Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat yang “memberi celah (loop
holes)” kepada terjadinya banyak kasus tentang kekerasan terhadap perempuan,
secara khusus di dalam kehidupan rumah tangga, dikarenakan himpitan hukum
negara dengan kentalnya budaya patriarkhi. Budaya hukum yang patriarkhis ini
juga bersemai dalam institusi penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat.
Hukum sangat erat kaitannya dengan budaya di mana hukum itu berada.
Disini menyatakan bahwa hukum dan budaya bagaikan dua sisi
dari satu keping mata uang yang sama, dalam arti hukum itu merumuskan substansi
budaya yang dianut oleh suatu masyarakat. Bila budaya yang diakomodasi dalam
rumusan-rumusan hukum itu adalah budaya patriarkhis, maka tidak mengherankan
apabila hukum yang dimunculkan adalah hukum yang tidak memberi keadilan
terhadap perempuan. Dalam hal ini, budaya menempatkan perempuan dan laki-laki
dalam hubungan kekuasaan yang timpang dan hukum melegitimasinya.
Sebagian Sarjana Hukum percaya, bahwa bila hukum sudah
dibuat, maka berbagai persoalan dalam masyarakat berkenaan dengan apa yang diatur
dalam hukum tersebut, sudah dapat diatasi atau bahkan dianggap selesai. Mereka
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas dan netralitas dalam hukum,
dengan mempercayai bahwa hukum yang objektif dan netral akan memberikan
keadilan bagi setiap warga masyarakat. Dalam hal ini mereka mengartikan hukum
sebatas Undang-undang yang dibuat oleh negara. Hukum negara merupakan entitas
yang jelas batas-batasnya, berkedudukan superior dan terpisah dari hukum-hukum
yang lain.
Pendekatan Sosiologi Hukum menunjukkan bahwa hukum negara
bukanlah satu-satunya acuan berperilaku dalam masyarakat. Dalam kenyataannya,
“hukum-hukum” lain yang menjadi acuan berperilaku tersebut justru diikuti
secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan hukum itulah yang mereka kenal, hidup
dalam wilayah sendiri, diwariskan secara turun-temurun dan mudah diikuti dalam
praktik sehari-hari. Sukar untuk mereka bayangkan bahwa ada hukum lain yang
lebih dapat diandalkan daripada hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila
hukum itu datang dari domain yang “asing”, yang mengklaim diri sebagai otoritas
tertinggi yaitu negara.
Frederich von Savigny tidak dapat menerima kebenaran
anggapan tentang berlakunya hukum positif yang sekali dibentuk diberlakukan
sepanjang waktu dan tempat. Menurut Savigny, masyarakat merupakan kesatuan
organis yang memiliki kestuan keyakinan umum, yang disebutnya jiwa masyarakat
atau jiwa bangsa atau volksgeist yaitu kesamaan pengertian dan keyakinan
terhadap sesuatu. Maka menurut aliran ini, sumber hukum adalah jiwa masyarakat,
dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat
dibentuk melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat.
Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan
masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara. Bahwa dengan
ditetapkannya berbagai perbuatan sebagai tindak pidana (dikategorikan sebagai
delik aduan ) di dalam UU PKDRT, secara konseptual, delik aduan merupakan delik
atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan pada adanya inisiatif
dari pihak sikorban.
Dalam hal suatu tindak pidana dikualifikasikan sebagai delik
atau tindak pidana aduan, maka pihak korban atau keluarganyalah yang harus
bersikap proaktif untuk mempertimbangkan apakah peristiwa yang baru dialaminya
akan diadukan kepada pihak berwajib untuk dimintakan penyelesaian menurut
ketentuan hukum pidana. Pengkualifikasian suatu perbuatan yang dilarang dan
diancam pidana sebagai delik aduan, menunjukkan pendirian pembentuk
undang-undang Indonesia bahwa kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan ini
lebih bersifat pribadi dari pada publik.
Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam
rumah tangga sebagai delik aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat
penegak hukum hanya dapat bersifat pasif, dan tidak memiliki kewenangan untuk
melakukan intervensi atau campur tangan dalam suatu urusan warga masyarakat
yang secara yuridis dinyatakan sebagai masalah domestik, dan penegakan
ketentuan di dalam undang undang ini lebih banyak bergantung pada kemandirian
dari setiap orang yang menjadi sasaran perlindungan hukum undang-undang ini.
Permasalahan yang muncul dari Undang-undang Nomor 23 Tahun
2004 adalah bahwa keengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan
melaporkan kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa
akibat yang muncul dari laporan tersebut adalah perceraian, kehilangan nafkah
hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-anak terancam dan lain-lain.
Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sanagat sulit untuk mencapai keberhasilan maksimal.
Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sanagat sulit untuk mencapai keberhasilan maksimal.
Merujuk pada teori sistem Friedman, sebagaimana disebutkan
di bagian depan, faktor kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada
komponen substansi hukumnya sendiri, nilai nilai kultural yang terdapat di
dalam masyarakat berkaitan dengan kehidupan rumah tangga itu.
Dengan Perumusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan segala kompleksitas permasalahannya sebagai tindak pidana aduan, menjadikan tindakan-tindakan yang mengarah pada upaya pemidanaan pelakunya justru akan mengarah pada timbulnya dampak-dampak kontra produktif terhadap tujuan dasar pembentukan UU PKDRT itu sendiri.
Dengan Perumusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan segala kompleksitas permasalahannya sebagai tindak pidana aduan, menjadikan tindakan-tindakan yang mengarah pada upaya pemidanaan pelakunya justru akan mengarah pada timbulnya dampak-dampak kontra produktif terhadap tujuan dasar pembentukan UU PKDRT itu sendiri.
Oleh karena itu, kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana
sebagai sarana terakhir dalam upaya penanggulangan kejahatan (ultimum
remedium), maka keberadaan UU PKDRT harus lebih ditekankan pada upaya optimasi
fungsi hukum administrasi negara dalam masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi
hukum administrasi negara, dalam kaitan ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk
mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat ke arah yang lebih positif
berupa terwujudnya masyarakat yang bermoral anti kekerasan dalam rumah tangga.
Negara sepatutnya kembali melihat pada kenyataan dalam
masyarakat Indonesia yang sangat patriarkhis untuk selanjutnya dapat menilai
dengan lebih bijak mengenai langkah lain yang patut diambil untuk dapat membuat
keberlakuan UU PKDRT menjadi efektif di dalam prakteknya dan pada akhirnya
dapat berujung pada tujuan pengundangan UU PKDRT, yaitu menghapuskan atau
setidaknya meminimalisir kasus-kasus KDRT terhadap perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Seharusnya seorang suami dan
istri harus banyak bertanya dan belajar, seperti membaca buku yang memang isi
bukunya itu bercerita tentang bagaimana cara menerapkan sebuah keluarga yang
sakinah, mawaddah dan warahmah.
Di dalam sebuah rumah tangga
butuh komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah
rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak
ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa
menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. Seharusnya seorang suami
dan istri bisa mengimbangi kebutuhan psikis, di mana kebutuhan itu sangat
mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang bertentangan. Seorang suami atau
istri harus bisa saling menghargai pendapat pasangannya masing-masing.
Seperti halnya dalam
berpacaran. Untuk mempertahankan sebuah hubungan, butuh rasa saling percaya,
pengertian, saling menghargai dan sebagainya. Begitu juga halnya dalam rumah
tangga harus dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling
percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa
kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa
curiga yang kadang juga berlebih-lebihan. Tidak sedikit seorang suami yang
sifat seperti itu, terkadang suami juga melarang istrinya untuk beraktivitas di
luar rumah. Karena mungkin takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. jika
sudah begitu kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan berbaur
dengan orang lain. Ini adalah dampak dari sikap seorang suami yang memiliki
sifat cemburu yang terlalu tinggi. Banyak contoh yang kita
lihat dilingkungan kita, kajadian seperti itu. Sifat rasa cemburu
bisa menimbukan kekerasan dalam rumah tangga.
Maka dari itu, di dalam sebuah
rumah tangga kedua belah pihak harus sama-sama menjaga agar tidak terjadi
konflik yang bisa menimbulkan kekerasan. Tidak hanya satu pihak yang bisa
memicu konflik di dalam rumah tangga, bisa suami maupun istri. Sebelum kita
melihat kesalahan orang lain, marilah kita berkaca pada diri kita sendiri.
Sebenarnya apa yang terjadi pada diri kita, sehingga menimbulkan perubahan
sifat yang terjadi pada pasangan kita masing-masing.
CONTOH KASUS
Contoh Kasus Kekerasan dalam
Rumah Tangga yang terjadi dimasyarakat :
Contoh kasus Kekerasan dalam
Rumah Tangga yang kami ambil adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dialami
oleh Cici Paramida. Dimana dalam kasus KDRTnya ini, wajah Cici Paramida
babak belur akibat peristiwa penabarakan yang diduga dilakukan
suaminya, Suhaebi. Peristiwa itu sendiri berawal ketika Cici yang
mencurigai suaminya membawa perempuan lain mencoba mengejar mobil suaminya
hingga ke kawasan puncak, Kabupaten Bogor. Saat kedua mobil tiba di kawasan
Gang Semen, Jalan Raya Puncak, Cisarua, mobil Cici menyalip.
Cici kemudian turun dari mobil.
“Saat dia mau mendekati mobil itu, tiba-tiba mobil digas sehingga menyerempet
Cici. Akibatnya Cici Paramida tampak terluka di bagian wajah dan lengan
seperti bekas tersenggol. Kemudian atas Kekerasan yang dilakukan oleh Suhebi,
Cici melaporkan tindakan kekerasan itu polisi.
Dari contoh kasus diatas kita
dapat menarik kesimpulan bahwa seorang suami seharusnya menjaga kepercayaan
yang diberikan oleh istrinya. Suatu hubungan akan berjalan harmonis apabila
sebuah pasangan dilandasi dengan percaya kepada pasangannya. Namun kejadian ini
tidak akan terjadi apabila sang istri menanyaka secara baik-baik kepada
suaminya. Apakah benar ia bersama perempuan lain atau hanya sekedar rekan
kerjanya.
B.
SARAN
Demikian yang dapat
kami jelaskan semonga bemanfaat bagi pembaca dan dalam makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan-kekurangan, oleh karena itu kami senantiasa menerima
saran dan kritik yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Esmi Warassih, Pranata
Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru utama.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender, Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional , Bandung: Alumni.
Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender, Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional , Bandung: Alumni.
Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni.
Undang-undang tentang Penghapusan KDRT No. 23 tahun 2004, Kenapa Laki-Laki Melakukan Tindakan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT)? http://www.erwinmiradi.com/kenapa-laki-l... #erwinmiradi.com
Kekerasan pada Istri dalam rumah tangga
KDRT Cici Paramida, Suheaby diperiksa Polisi